Seperti manusia, bintang juga
mengalami perubahan tahap kehidupan. Sebutannya adalah evolusi. Mempelajari
evolusi bintang sangat penting bagi manusia, terutama karena kehidupan kita
bergantung pada matahari. Matahari sebagai bintang terdekat harus kita kenali
sifat-sifatnya lebih jauh.
Dalam mempelajari evolusi bintang,
kita tidak bisa mengikutinya sejak kelahiran sampai akhir evolusinya. Usia
manusia tidak akan cukup untuk mengamati bintang yang memiliki usia hingga
milyaran tahun. Jika demikian tentunya timbul pertanyaan, bagaimana kita bisa
menyimpulkan tahap-tahap evolusi sebuah bintang?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab
dengan kembali menganalogikan bintang dengan manusia. Jumlah manusia di bumi
dan bintang di angkasa sangat banyak dengan usia yang berbeda-beda. Kita bisa
mengamati kondisi manusia dan bintang yang berada pada usia/tahapan evolusi
yang berbeda-beda. Ditambah dengan pemodelan, akhirnya kita bisa menyusun teori
evolusi bintang tanpa harus mengamati sebuah bintang sejak kelahiran hingga
akhir evolusinya.
Kelahiran bintang
Bintang lahir dari sekumpulan awan gas dan debu yang kita sebut nebula. Ukuran
awan ini sangat besar (diameternya mencapai puluhan SA) tetapi kerapatannya
sangat rendah. Awal dari pembentukan bintang dimulai ketika ada gangguan
gravitasi (misalnya, ada bintang meledak/supernova), maka partikel-partikel
dalam nebula tersebut akan bergerak merapat dan memulai interaksi gravitasi di
antara mereka setelah sebelumnya tetap dalam keadaan setimbang. Akibatnya, partikel
saling bertumbukan dan temperatur naik.
Eagle Nebula, tempat kelahiran
bintang (Sumber: Hubblesite)
Semakin banyak partikel yang merapat
berarti semakin besar gaya gravitasinya dan semakin banyak lagi partikel yang
ditarik. Pengerutan awan ini terus berlangsung hingga bagian intinya semakin
panas. Panas tersebut dapat mendorong awan di sekitarnya. Hal ini memicu
terjadinya proses pembentukan bintang di sekitarnya. Demikian seterusnya hingga
terbentuk banyak bintang dalam sebuah awan besar. Maka tidaklah heran jika kita
mengamati sekelompok bintang yang lahir pada waktu yang berdekatan di lokasi
yang sama. Kelompok bintang inilah yang biasa kita sebut dengan gugus.
Jika massanya lebih dari 0,1 massa
Matahari, bagian pusat proto bintang memiliki temperatur yang cukup untuk
memulai reaksi fusi saat dirinya setimbang. Reaksi ini akan terus terjadi
hingga helium yang sudah terbentuk mencapai 10 – 20 % massa bintang. Setelah
itu pembakaran akan terhenti, tekanan dari pusat menurun, dan bagian pusat ini
runtuh dengan cepat. Akibatnya temperatur inti naik dan bagian luar bintang
mengembang. Saat ini, bintang menjadi raksasa dan tahap pembakaran helium
menjadi karbon pun dimulai. Di lapisan berikutnya, berlangsung pembakaran
hidrogen menjadi helium. Setelah ini kembali akan kita lihat bahwa evolusi
bintang sangat bergantung pada massa.
Untuk bintang bermassa kecil (0,1 –
0,5 massa Matahari), proses pembakaran hidrogen dan helium akan terus
berlangsung sampai akhirnya bintang itu menjadi katai putih. Sedangkan pada
bintang bermassa 0,5 – 6 massa Matahari, pembakaran karbon dimulai setelah
helium di inti bintang habis. Proses ini tidaklah stabil, akibatnya bintang
berdenyut. Bagian luar bintang mengembang dan mengerut secara periodik sebelum
akhirnya terlontar membentuk planetary nebula. Bagian bintang yang tersisa akan
mengerut dan membentuk bintang katai putih.
Berikutnya adalah bintang bermassa
besar (lebih dari 6 massa Matahari). Di bintang ini pembakaran karbon berlanjut
hingga terbentuk neon. Lalu neon pun mengalami fusi membentuk oksigen. Begitu
seterusnya hingga secara berturut-turut terbentuk silikon, nikel, dan terakhir
besi. Kita bisa lihat di diagram penampang bintang di bawah ini, bahwa reaksi
fusi sebelumnya tetap terjadi di luar lapisan inti. Sehingga ada banyak lapisan
reaksi fusi yang terbentuk ketika di bagian pusat bintang sedang terbentuk
besi.
Lapisan-lapisan reaksi fusi (Sumber:
Wikipedia)
Evolusi Lanjut
Setelah reaksi yang membentuk besi terhenti, tidak ada proses pembakaran
selanjutnya. Akibatnya, tekanan menurun dan bagian inti bintang memampat.
Karena begitu padatnya, jarak antara neutroon dan elektron pun mengecil
sehingga elektron bergabung dengan neutron dan proton. Peristiwa ini
menghasilkan tekanan yang sangat besar dan mengakibatkan bagian luar bintang
dilontarkan dengan cepat. Inilah yang disebut dengan supernova.
Apa yang terjadi setelah supernova
bergantung pada massa bagian inti bintang yang tadi terbentuk. Apabila di bawah
5 massa Matahari (batas massa Schwarzchild), supernova menyisakan bintang
neutron. Disebut demikian karena partikel dalam bintang ini hanya neutron.
Bintang neutron biasanya terdeteksi sebagai pulsar (pulsating radio source,
sumber gelombang radio yang berputar). Pulsar adalah bintang yang berputar
dengan sangat cepat, periodenya hanya dalam orde detik. Putarannya itulah yang
menyebabkan pulsasi pancaran gelombang radionya.
Diagram evolusi berbagai bintang
(Sumber: Chandra Harvard)
Di atas 5 massa Matahari, gaya
gravitasi di inti bintang begitu besarnya sehingga dirinya runtuh dan kecepatan
lepas partikelnya melebihi kecepatan cahaya. Objek seperti ini disebut dengan
lubang hitam. Tidak ada objek yang sanggup lepas dari pengaruh gravitasinya,
termasuk cahaya sekalipun. Makanya benda ini disebut lubang hitam, karena tidak
memancarkan gelombang elektromagnetik. Satu-satunya cara untuk mendeteksi
keberadaan lubang hitam adalah dari interaksi gravitasinya dengan benda-benda
di sekitarnya. Pusat galaksi kita adalah salah satu lokasi ditemukannya lubang
hitam. Kesimpulan ini diambil karena bintang-bintang di pusat galaksi bergerak
dengan sangat cepat, dan kecepatannya itu hanya bisa ditimbulkan oleh gaya
gravitasi yang sangat kuat, yaitu oleh sebuah lubang hitam.
Hingga saat ini, pengamatan terhadap
bintang-bintang masih terus dilakukan. Teori evolusi bintang di atas bisa saja
berubah kalau ada bukti-bukti baru. Tidak ada yang kekal dalam sains, dan tidak
ada kebenaran mutlak. Apa yang menjadi kebenaran saat ini bisa saja
terbantahkan di kemudian hari. Itulah uniknya sains: dinamis.